Minggu, 24 Mei 2009

IMPLEMENTASI HAPS DI INDONESIA (REVISI)

Seperti yang telah dipaparkan dalam artikel sebelumnya bahwa HAPS merupakan teknologi baru pada sektor telekomunikasi yang mampu mengatasi kekurangan dari infrastruktur terrestrial dan extraterestrial. HAPS bisa dipertimbangkan sebagai solusi yang baru dalam menyediakan layanan telekomunikasi. HAPS telah lama dikembangkan di negara-negara maju, seperti Amerika dan Jepang. Selain kedua Negara tersebut, Negara yang mulai memiliki interest terhadap perkembangan teknologi HAPS adalah Korea, Australia, Taiwan, Cina (RRC), Eropa Barat, Indonesia dan India.

Pengembangan HAPS dapat pula dilakukan di negara berkembang, seperti Indonesia karena teknologi HAPS tidak mempunyai kompleksitas setinggi satelit dan resiko yang rendah pula. Di Indonesia, penggunaan teknologi HAPS sangat menguntungkan dan akan lebih efisien dibandingkan dengan satelit. Implementasi HAPS akan lebih mudah karena tidak memerlukan kendaraan peluncur seperti roket. Peluncuran roket akan sangat tidak efisien mengingat keterbatasan sumber daya di Indonesia. Selain itu, iplementasi HAPS tidak memerlukan orbit khusus seperti satelit, tidak menimbulkan sampah luar angkasa, mudah di-upgrade, dan fleksibel. Fleksibel disini maksudnya bahwa HAPS dapat diupgrade sesuai kebutuhan dan dapat dipindah-pindahkan tempatnya seperti pesawat terbang. Hal ini sangat menguntungkan apabila diterapkan di Negara kita, mengingat Indonesia adalah negara yang heterogen dan memiliki cakupan geografis yang luas dan beragam. Sebuah HAPS akan mampu melayani suatu area dalam radius 500 km atau setara dengan daerah dengan luas780 ribu kilometer persegi.

Selain itu, di negara-negara berkembang, seperti Indonesia, perkembangan kebutuhan telekomunikasi relatif sangat cepat, sehingga kita memerlukan suatu teknologi yang dapat dimodifikasi dengan mudah apabila diperlukan. HAPS akan sangat menguntungkan karena dilihat dari segi kecepatan proses pembangunannya, HAPS tergolong sangat cepat dan mudah untuk dimodifikasi atau di-upgrade. Dikatakan sangat mudah dan cepat karena HAPS menggunakan wahana berupa pesawat terbang atau balon udara. Apabila sewaktu-waktu kita ingin menambahkan fitur layanan baru pada HAPS maka operator HAPS hanya perlu menurunkan pesawat atau balon udara tersebut kemudian tinggal menambahkan fitur baru yang diperlukan. Hal ini sangat berbeda dengan system satelit atau system terrestrial lain, yang memerlukan banyak biaya, memakan waktu yang lama dalam proses pembangunan, dan lebih sulit untuk melakukan modifikasi dibandingkan dengan teknologi HAPS. Oleh karena itu, Bukan tidak mungkin, sistem satelit akan tergantikan dengan teknologi HAPS.

Indonesia merupakan negara yang terkadang mengalami perubahan cuaca yang cukup tinggi dengan curah hujan yang relative tinggi pula. Sebagai data pendukung, berikut data mengenai tingkat curah hujan di Indonesia dan Asia Pasifik :
Waktu (%/tahun) 1,0 0,3 0,1 0,03 0,01 0,003 0,001
Hujan (mm/jam) 12 34 65 105 145 200 250
Namun hal ini tidak menjadi masalah bagi implementasi HAPS. Keuntungan lain dari penerapan teknologi HAPS di Indonesia adalah HAPS diletakkan pada ketinggian sekitar 20 - 50 km dan pada titik yang tetap dan tertentu, relatif terhadap bumi. Pada ketinggian ini, HAPS akan terbebas dari pengaruh perubahan cuaca dan turbulensi udara. Motor pengendali elektrik pada HAPS dapat mengatasi kecepatan angin pada ketinggian 20 km, yakni berkisar 20km/jam.

Selain itu, pada ketinggian ini, teknologi HAPS akan memiliki energi surya yang cukup tinggi, karena tidak terhalang oleh awan, seperti yang diungkapkan Ihsan Hariadi dalam Seminar dan Pameran Terbatas “The 1st Indonesian High Altitude Platform Systems (HAPS) 2000” pada 25-26 September 2000 di Hotel Shangri-La, Jakarta.


Adanya energi surya akan membuat HAPS menjadi lebih efisen disbanding dengan satelit karena energi panas surya dapat digunakan sebagai pembangkit energi listrik yang ramah lingkungan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa kondisi cuaca di Indonesia yang seringkali berawan tidak akan menjadi halangan bagi implementasi HAPS di Indonesia.

Namun, pengembangan teknologi HAPS harus dilakukan secara sinergis dengan berbagai disiplin ilmu. Penerapan HAPS di Negara berkembang, seperti Indonesia memerlukan penelitian terhadap meteorologi-geofisika atmosfir dan karakter propagasi frekuensi (khususnya frekuensi EHF). Disamping itu perlu pula dicermati pengaruh interferensi frekuensi uplink dengan satelit dan sistem terestrial (uplink dan down link). HAPS dapat diterapkan sebagai faktor komplemen dari jaringan terestrial atau satelit yang ada. Umumnya digunakan sebagai backup emergency atau pelimpahan beban traffic. HAPS dapat diimplementasikan sebagai wahana broadcasting TV, radio dan data baik secara individu (stand alone), network atau komplemen.

Sebagai realisasi dari implementasi teknologi HAPS di Indonesia, maka dapat dilakukan dengan beberapa tahapan-tahapan. Sesuai dengan yang diungkapkan Albert Gifson, S.T, M.T., terdapat tiga tahapan dalam implementasi teknologi HAPS di Indonesia.
Implementasi HAPS tahap pertama dapat dilakukan dengan mengimplementasikan HAPS untuk wilayah kota-kota besar di Indonesia seperti Jakarta, Surabaya, Medan dan Bali. Hal ini dilakukan untuk memudahkan proses pembangunan dilihat dari segi infrastruktur. Pada tahap ini, teknologi HAPS dapat difungsikan untuk aplikasi internet, broadcasting, telekomunikasi (selular), pengendalian lalu lintas kendaraan dan monitoring polusi lingkungan hidup. Para ahli Sky Station menyarankan agar kota seperti Jakarta mulai menggunakan teknologi balon udara menggantikan teknologi konvensional yang ada. Keuntungan yang ditawarkan sudah jelas yaitu murah, kapasitas per bandwidth yang sangat lebar dan sangat cocok untuk broadband teknologi. Selain itu kecepatan pembangunan sarana balon yang jauh lebih tinggi dari ketiga metode yang lain juga patut jadi pertimbangan utama. Sky station international, Inc. menyatakan bahwa penggunaan teknologi satelit geostasioner maupun non-geostasioner sudah sangat ketinggalan untuk diimplemantasikan di kota-kota besar seperti Kairo, Lagos, Jakarta, dan Bombai. Satelit Geostasioner hanya memiliki kemampua memunculkan satu buah berkas tiap kota besar dengan pemakaian garis tengah antenna penerima sebesar 5 meter. Satelit dengan jenis LEO atau Low Earh Orbit hanya mampu memunculkan 6 berkas untuk setiap kota besar. Namun, penggunaan teknologi HAPS pada ketinggian 21 km mampu memunculkan berkas hingga 700 sampai 1000 berkas transmisi ke setiap kota.
Pada tahap kedua, HAPS diimplementasikan di kota-kota kecil atau sub-urban. Tahap ini merupakan perkembangan dari implementasi tahap pertama yang dilakukan di kota-kota besar. Pada tahap ini, teknologi HAPS difungsikan untuk aplikasi internet, broadcast, telekomunikasi, tele-medecine, tele-education dan penginderaan jarak jauh.
Sedangkan implementasi tahap ketiga dilakukan pada daerah rural/remote, seperti hutan dan laut. Pada area ini HAPS dapat digunakan untuk penginderaan jarak jauh dan telekomunikasi.
Selain itu, Albert Gifson menyatakan bahwa dalam implementasi teknologi HAPS, perlu dicermati pula penggunaan spektrum frekuensi,mengingat HAPS payload dapat memanfaatkan pita frekuensi 2 GHz (L band) sampai dengan 50 GHz (V band). Hal ini mengingat di Indonesia khususnya dan di Asia Pasifik umumnya mempunyai curah hujan kumulatif rata-rata yang tinggi.
Mengingat berbagai keunggulan HAPs dibandingkan dengan satelit, maka bukan tidak mungkin teknologi HAPS akan menggantikan teknologi satelit di bidang telekomunikasi, khususnya di negara-negara berkembang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar